Alam yang kaya raya telah memberi inspirasi kepada masyarakat yang berpikir kreatif, seperti tercermin dari seni ukir nusantara yang kemudian melahirkan beragam jenis, tergantung kepada kreativitas dan daya dukung alam yang kaya. Khusus untuk seni ukir nusantara yang berbahan dasar kayu, semakin beragam karena didukung oleh alam nusantara yang memiliki hutan tropis sehingga menghasilkan kayu yang bisa dipakai sebagai bahan dasar untuk mengukir.
Berbeda dengan seni ukir modern, seni ukir nusantara yang tradisional lahir tidak saja sebagai karya seni dan tujuan untuk berkesenian, melainkan sangat terikat erat dengan berbagai persoalan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat tradisional. Dengan demikian seni ukir tradisional ini pada awalnya bisa lahir karena untuk persembahan kepada leluhur sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Tak jarang seni ukir tradisional juga tercipta karena kepentingan untuk alat berburu, alat perang atau keperluan lainnya yang kerap ditemukan pada kehidupan sehari-hari mereka. Demikian pula inspirasi bentuk ukirannya yang terikat kuat kepada alam, memberi keunikan tersendiri yang tak sembarang bisa ditemukan di dalam seni ukir modern. Seni ukir nusantara sebagai seni ukir tradisional, masing-masing daerah memiliki ciri khas sendiri-sendiri sesuai dengan alam dan lingkungan tempat mereka tumbuh dan berkembang. Dari kenyataan ini maka seni ukir nusantara semakin kaya ragam dan rupanya.
Mengukir adalah melakukan sesuatu dengan menggores, memahat, dan menoreh pola pada permukaan benda yang akan diukir. Biasanya pada kayu untuk meja, lemari, kursi, alat atau perkakas perang, berburu, perkakas atau peralatan untuk ibadah dan sebagainya.
Di Indonesia seni ukir sudah ada sejak zaman prasejarah, yaitu pada zaman batu muda. Pada zaman itu manusia sudah mengenal perkakas untuk keperluan rumah tangga serta benda-benda yang terbuat dari kayu dan gerabah. Dilihat dari jenisnya, ukiran dibagi menjadi: ukiran tembus, ukiran rendah, ukiran tinggi, dan ukiran utuh.
Fungsi Seni Ukir
Fungsi seni ukir termasuk di dalam seni ukir nusantara, di antaranya sebagai berikut :
1. Fungsi hias, yaitu ukiran yang dipakai semata-mata sebagai hiasan dan tidak mengandung makna sama sekali. Di dalam berbagai perabot, alat perang, alat atau perkakas bertani dan sebagainya, banyak yang menggunakan seni ukir yang berfungsi hiasan. Dengan demikian ragam ukirannya pun tidak memiliki pola baku, bisa terinspirasi oleh alam, awan, aliran sungai dan sebagainya. Namun sebagai karya seni tentu saja menunjukkan keindahan tersendiri sekalipun fungsinya hanya benar-benar sebagai hiasan semata.
2. Fungsi magis, adalah ukiran yang mengandung simbol-simbol tertentu dan diyakini sebagai sesuatu yang magis atau memiliki kekuatan, dikaitkan dengan kepercayaan dan kepentingan spiritual. Pada seni ukir tradisional banyak sekali seni ukir yang berfungsi magis ini. Di Jawa Barat misalnya dikenal seni ukir pada warangka keris, tombak, yang dinilai memiliki kekuatan gaib dan kerap menjadi semacam tameng dari serangan makhluk jahat. Demikian pula di dalam masyarakat suku Batak, dengan mudah ditemukan ukiran yang berfungsi magis ini, misalnya di dalam rumah adat atau tombak, terdapat simbol-simbol tertentu dengan warna putih dan hitam yang dominan, yang dianggap memiliki kekuatan gaib tersendiri.
3. Fungsi simbolik. Selain sebagai hiasan, ukiran mengandung suatu simbol yang berhubungan dengan spiritual. Oleh karena memiliki nilai dan makna tertentu, maka penempatan dan pemasangan karya ukir tidak bisa di sembarang tempat. Ukiran fungsi simbolik ini hampir mirip dengan ukiran fungsi magis, yakni terkait dengan satu kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Setiap suku di Indonesia hampir dipastikan memiliki seni ukir simbolik ini, hal ini terkait dengan perjalanan peradaban suku-suku di Indonesia yang dimulai dengan kepercayaan animisme, dinamisme, kemudian datang pengaruh Hindu/Budha, sebelum akhirnya masuk agama Islam.
4. Fungsi konstruksi adalah ukiran yang selain dipakai sebagai hiasan, juga digunakan sebagai pendukung sebuah bangunan. Misalnya tiang pada rumah.
5. Fungsi ekonomis, yaitu menambah nilai jual. Misalnya ukiran pada kaki kursi, meja, lemari, tutup lampu, dan lain sebagainya. Dalam prakteknya untuk fungsi ekonomis ini bisa saja menjadikan fungsi ukir lainnya sebagai salah satu bahan ukiran namun diterapkan dalam perkakas yang memiliki nilai jual. Sebuah ukiran yang pada awalnya berfungsi sebagai ukiran magis misalnya, pada masyarakat modern sekarang bisa saja diterapkan pada wadah tissue misalnya, yang tentunya ragam hias pada ukiran tempat tissue tersebut sudah tidak memiliki fungsi simbolis atau fungsi magis lagi.
Setiap daerah memiliki ciri khas motif ukiran. Penamaan ukiran biasanya berdasarkan tempat dari mana motif itu berasal. Misalnya, motif Pajajaran, motif Mataram, motif Majapahit, motif Bali, motif Jepara, motif Madura, motif Dayak, motif Nias, motif Pekalongan, motif Cirebon, motif Yogyakarta dan motif Surakarta. Masing-masing motif memiliki ciri khas tersendiri yang menjadi kekuatan dan kekayaan ragam hias seni ukir nusantara.
Dari berbagai macam motif tersebut ada beberapa yang memiliki persamaan, seperti motif relung, patran, ulir, benangan, cawen, pecahan, angkup, endong, simbar, trubusan, cula, sunggar, danjambul. Jenis ukiran ini memiliki kesamaan dalam bentuknya namun pada akhirnya memiliki sentuhan tersendiri sehingga tetap saja dengan mudah dapat dibedakan. Misalnya seni ukir motif cula antara satu daerah dengan daerah lainnya memang sama dari bentuknya, tapi penampilan akhirnya tetap memiliki ciri tersendiri, sehingga seni ukir motif cula dari daerah A akan berbeda dengan dari daerah B, begitu seterusnya. Itulah kenapa seni ukir nusantara benar-benar menjadi macam ragam yang memperkaya seni ukir yang ada.
Alat Ukir
Alat untuk mengukir adalah pahatan, palu, batu asah, sikat. Untuk mengukir dengan menggunakan media batu, kayu, atau bambu memiliki jenis pahatan yang berbeda.
Berikut ini adalah jenis-jenis pahat ukir:
1. Pahat penyiku yaitu pahat yang bagian ujung pahatnya melengkung sesuai dengan fungsinya untuk memahat bagian-bagian yang melengkung. Membuat ragam lingkaran, bulatan daun, bulatan bunga, sisi wajah manusia, menggunakan pahat penyiku ini.
2. Pahat penyilat, yaitu pahat yang bentuknya lurus sesuai dengan fungsinya untuk mengukir bagian-bagian yang lurus. Pada seni ukir yang berasal dari suku Asmat kebanyakan menggunakan pahat penyilat, sehingga ragam pahatannya lurus dan tegak.
3. Pahat kol, yaitu jenis pahat lengkung yang bagian ujungnya untuk membuat bentuk cekungan. Membuat cekungan harus menggunakan pahatan ini, tidak bisa dengan pahatan lain. Menimbulkan efek dua dimensi adalah dengan menggunakan pahat kol ini. Dengan demikian pada permukaan datar akan didapat kedalaman-kedalaman tertentu sesuai dengan benda atau barang yang menjadi sumber inspirasi pahatan yang terdapat di alam yang bentuknya tiga dimensi.
4. Pahat pongot, pahat yang bentuknya menyudut ke arah kiri atau kanan, berfungsi untuk membersihkan sudut-dudut pada ukiran. Kehalusan hasil akhir ukiran sangat tergantung pada keterampilan pengukir atau pemahat menggunakan pahat pongot ini.
Bangsa Indonesia mulai mengenal ukir sejak zaman batu muda (Neolitik), yakni sekitar tahun 1500 SM. Pada zaman itu nenekmoyang bangsa Indonesia telahmembuat ukiran pada kapak batu, tempaan tanah liat atau bahan lain yang ditemuinya. Motif dan pengerjaan ukiran pada zaman itu masih sangat sederhana. Umumnya bermotif geometris yang berupa garis, titik, dan lengkungan, dengan bahan tanah liat, batu, kayu, bambu, kulit, dan tanduk hewan Pada zaman yang lebih dikenal sebagai zaman perunggu, yaitu berkisar tahun 500 hingga 300 SM. Bahan untuk membuat ukiran telah mengalami perkembangan yanitu menggunakan bahan perunggu, emas, perak dan lain sebagainya. Dalam pembuatan ukirannya adalah menggunakan teknologi cor. Motif-motif yang di gunakanpada masa zaman perunggu adalah motif meander, tumpal, pilin berganda, topeng, serta binatang maupun manusia. Motif meander ditemukan pada nekara perunggu dari Gunung merapi dekat Bima. Motif tumpal ditemukan pada sebuah buyung perunggu dari kerinci Sumatera Barat, dan pada pinggiran sebuah nekara (moko dari Alor, NTT. Motif pilin berganda ditemukan pada nekara perunggu dari Jawa Barat dan pada bejana perunggu darikerinci, Sumatera. Motif topeng ditemukan pada leher kendi dari Sumba. Nusa Tenggara, dan pada kapak perunggu dari danau Sentani, Irian Jaya. Motif ini menggambarkan muka dan mata orang yang memberi kekuatan magis yang dapat menangkis kejahatan. Motif binatang dan manusia ditemukan pada nekara dari Sangean.
Setelah agama Hindu, Budha, Islam masuk ke Indonesia, seni ukir mengalami perkembangan yang sangat pesat, dalam bentuk desain produksi, dan motif. Ukiran banyak ditemukan pada badan-badancandi dan prasasti-prasasti yang di buat orang pada masa itu untuk memperingati para raja-raja. Bentuk ukiran juga ditemukan pada senjata-senjata, seperti keris dan tombak, batu nisan, masjid, keraton, alat-alat musik, termasuk gamelan dan wayang. Motif ukiran, selain menggambarkan bentuk, kadang-kadang berisi tentang kisah para dewa, mitos kepahlawanan, dll. Bukti-bukti sejarah peninggalan ukiran pada periode tersebut dapat dilihat pada relief candi Penataran di Blitar, candi Prambanan dan Mendut di Jawa Tengah.
Saat sekarang ukir kayu dan logam mengalami perkembangan pesat. Dan fungsinyapun sudah bergeser dari hal-hal yang berbau magis berubah menjadi hanya sebagai alat penghias saja.pada ukiran kayu meliputi motif Pejajaran, Majapahit, Mataram, Pekalongan, Bali, Jepara, Madura, Cirebon, Surakarta, Yogyakarta, dan berbagai macam motif yang berasal dari luarJawa.
LEGENDA SENI UKIR JEPARA
Dikisahkan seorang ahli seni pahat dan lukis bernama Prabangkara yang hidup pada masa Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, pada suatu ketika sang raja menyuruh Prabangkara untuk membuat lukisan permaisuri raja sebagai ungkapan rasa cinta beliau pada permaisurinya yang sangat cantik dan mempesona.
Lukisan permaisuri yang tanpa busana itu dapat diselesaikan oleh Prabangkara dengan sempurna dan tentu saja hal ini membuat Raja Brawijaya menjadi curiga karena pada bagian tubuh tertentu dan rahasia terdapat tanda alami/khusus yang terdapat pula pada lukisan serta tempatnya/posisi dan bentuknya persis. Dengan suatu tipu muslihat, Prabangkara dengan segala peralatannya dibuang dengan cara diikat pada sebuah laying-layang yang setelah sampai di angkasa diputus talinya.
Dalam keadaan melayang-layang inilah pahat Prabangkara jatuh di suatu desa yang dikenal dengan nama Belakang Gunung di dekat kota Jepara.
Di desa kecil sebelah utara kota Jepara tersebut sampai sekarang memang banyak terdapat pengrajin ukir yang berkualitas tinggi. Namun asal mula adanya ukiran disini apakah memang betul disebabkan karena jatuhnya pahat Prabangkara, belum ada data sejarah yang mendukungnya.
SEJARAH SENI UKIR
Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, terdapat seorang patih bernama Sungging Badarduwung yang berasal dari Campa (Kamboja) ternyata seorang ahli memahat pula. Sampai kini hasil karya Patih tersebut masih bisa dilihat di komplek Masjid Kuno dan Makam Ratu Kalinyamat yang dibangun pada abad XVI.
Keruntuhan Kerajaan Majapahit telah menyebabkan tersebarnya para ahli dan seniman hindu ke berbagai wilayah paruh pertama abad XVI. Di dalam pengembangannya, seniman-seniman tersebut tetap mengembangkan keahliannya dengan menyesuaikan identitas di daerah baru tersebut sehingga timbulah macam-macam motif kedaerahan seperti : Motif Majapahit, Bali, Mataram, Pajajaran, dan Jepara yang berkembang di Jepara hingga kini.
SENI UKIR PAPUA
Bagi suku Asmat, seni ukir kayu adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang telah turun temurun menjadi suatu kebudayaan yang bukan saja dikenal di Papua dan Indonesia, melainkan sudah ke seluruh dunia. Bagi setiap turis asing yang berkunjung ke Papua, rasanya kurang lengkap apabila tidak mengenal atau membeli cenderamata karya ukir suku Asmat dalam berbagai ukuran.
Ciri khas dari ukiran suku asmat adalah polanya yang unik dan bersifat naturalis, dimana dari pola-pola tersebut akan terlihat kerumitan cara membuatnya sehingga membuat karya ukir suku Asmat bernilai tinggi dan sangat banyak diminati para turis asing yang menggemari karya seni.
Dari segi model, ukiran suku Asmat memiliki pola dan ragam yang sangat banyak, mulai dari patung model manusia, binatang, perahu, panel, perisai, tifa, telur kaswari sampai ukiran tiang. Suku Asmat biasanya mengadopsi pengalaman dan lingkungan hidup sehari-hari sebagai pola ukiran mereka, seperti pohon, perahu, binatang dan orang berperahu, orang berburu dan lain-lain.
Mengukir adalah sebuah tradisi kehidupan dan ritual yang terkait erat dengan spiritualitas hidup dan penghormatan terhadap nenek moyang. Ketika Suku Asmat mengukir, mereka tidak sekedar membuat pola dalam kayu tetapi mengalirkan sebuah spiritualitas hidup.
ConversionConversion EmoticonEmoticon